Makalah Sejarah Pendidikan Islam: Sebab-Sebab Kemunduran Islam
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Dunia Islam
pernah mengalami masa jayanya. Pada masa itu, dunia Islam dihiasi dengan
berbagai unsur budaya dan ilmu pengetahuan yang beraneka ragam. Dunia Islam
sibuk melakukan pengkajian dan pengembangan ilmu pengetahuan yang begitu pesat
dikala dunia Barat berada pada masa kegelapan. Prestasi dunia Islam sangat
membanggakan. Keterpesonaan terhadap kemajuan masa itu, membuat umat Islam
merasa cukup pada apa yang sudah dicapainya. Keadaan demikian berlangsung
sampai pada suatu saat bangsa-bangsa Barat (Eropa) berusaha untuk merembeskan
kekayaan budaya tersebut ke Barat, dan bersamaan waktunya dengan datangnya
serangan dari luar, sehingga memudarkan kebudayaan Islam pada masa itu.
Peristiwa
sejarah sebagai catatan tertulis kejadian-kejadian masa lampau memegang peranan
yang penting untuk dikaji, terutama bagi mahasiswa/i yang berkecimpung di
bidang pendidikan Islam. Karena dengan memepelajari sejarah pendidikan Islam,
dapat diketahui sebab-sebab kemunduran pendidikan Islam dan unsur-unsur
pendidikan yang mengalami kemunduran. Dengan begitu mahasiswa/i dapat
menentukan langkah dalam berusaha memperbaiki pendidikan Islam maupun
mengembangkan kembali pendidikan Islam yang dahulu pernah jaya, khususnya di
masa sekarang yang mana pendidikan Islam tampak kabur dan tertinggal.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa sebab-sebab kemunduran pendidikan
Islam?
2.
Bagaimana unsur pendidikan yang
mengalami kemunduran?
C.
Tujuan
1.
Mengetahui sebab-sebab kemunduran
pendidikan Islam.
2.
Mengetahui unsur pendidikan yang
mengalami kemunduran.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Sebab-Sebab
Kemunduran Pendidikan Islam
Sepanjang
sejarahnya sejak awal dalam pemikiran Islam terlihat dua pola yang saling
berlomba mengembangkan diri dan mempunyai pengaruh besar dalam pengembangan pola
pendidikan umat Islam. Pertama, pola pemikiran yang bersifat tradisional
yang selalu mendasarkan diri pada wahyu, yang kemudian berkembang menjadi pola
pemikiran sufistik (pola pendidikan sufi). Pola pendidikan ini sangat
memperhatikan aspek-aspek batiniah dan akhlak.
Kedua, pola pemikiran yang rasional, yang memetingkan akal
pikiran, menimbulkan pola pendidikan empiris rasional. Pola pendidikan ini
sangat memperhatikan pendidikan intelektual dan penguasaan material.[1]
Pada
masa jayanya pendidikan Islam, kedua pola pendidikan tersebut menghiasi dunia
Islam, sebagai dua pola yang berpadu dan saling melengkapi. Orang tidak lagi
mau membedakan mana yang harus mereka pelajari, yaitu dari ilmu agama yang
bersumber dari wahyu maupun ilmu pengetahuan yang bersumber dari nalar mereka
tanpa ada perbedaan. Keduanya dijadikan sarana dalam menggali ilmu, baik ilmu
agama maupun ilmu pengetahuan. Kejayaan ini berlangsung cukup lama, sampai
diangkatnya penguasa baru abbasiyah-al- mutawakkil yang bermazhab sunni melakukan
pencabutan izin resmi Mu’tazilah sebagai satu aliran resmi kenegaraan yang
pernah terjadi pada masa al-Ma’mun, kondisi terus berlanjut hingga umat merasa
antipati terhadap golongan Mu’tazilah, golongan yang gencar menyebabkan ajaran
rasionalis. Sejak itu masyarakat tidak lagi mau mendalami ilmu-ilmu sains dan
filsafat. Pemikiran logis dan ilmiah tidak lagi menjadi budaya berfikir
masyarakat muslim sampai akhirnya pola berfikir rasional berubah menjadi cara
berfikir tradisional yang banyak dipengaruhi oleh ajaran spiritual, takhayul,
dan kejumudan.[2]
Antipati
terhadap Mu’tazilah juga telah menyebabkan pengawasan yang ketat terhadap
penerapan kurikulum di madrasah. Jatuhnya kesalah fahaman Mu’tazilah telah
mengangkat kaum konservatif menjadi kuat. Dalam rangka mengembalikan paham ahlussunnah
sekaligus memperkokoh basis, para ulama sering melakukan kontrol terhadap
kurikulum dilembaga-lembaga pendidikan. Pada masa ini, materi pelajaran sangat
minim, hanya terbatas pada ilmu-ilmu agama, bahkan pendidikan islam lebih
identik dengan pengajaran tasawuf dan fikih. Kondisi demikian terus diperburuk
seiring dengan runtuhnya kota baghdad, akibat serangan tentara mongol pada
tahun 1258 M, yang kemudian juga berakibat pada kehancuran kebudayaan dan pusat
pendidikan islam. Artinya, kemunduran umat islam sesungguhnya telah diawali
sejak runtuhnya aliran Mu;tazilah, yang kemudian berakibat pada cara berfikir
umat islam yang tidak lagi rasional, tidak mau lagi menganggap ilmu pengetahuan
umum sebagai satu kesatuan ilmu yang punya nilai guna. Hal ini terus diperburuk
oleh situasi politik negeri islam yang tidak menentu, yang berakibat pada
rapuhnya sistem pemerintahan saat itu, yang kemudian juga berakibat pada
lemahnya sektor pendidikan, baik institusi, metodologi, bahkan tujuan
pendidikan islam semakin kehilangan visi, misi, dan tujuan sebagaimana yang
pernah diterapkan dimasa-masa kejayaan islam.[3]
Setelah pola
pemikiran rasional diambil alih oleh dunia Barat (Eropa) dan dunia Islam pun
meninggalkan pola berpikir tersebut, maka dalam dunia Islam tinggal pola
pemikiran sufistik yang sifatnya memang sangat memperhatikan kehidupan batin,
sehingga mengabaikan dunia material. Pola pendidikan yang dikembangkannya pun
tidak lagi menghasilkan perkembangan budaya Islam yang bersifat material. Dari
aspek inilah dikatakan pendidikan dan kebudayaan Islam mengalami kemunduran
atau setidak-tidaknya dapat dikatakan pendidikan Islam mengalami kemandegan.[4]
Menurut M.M.
Sharif, pemikiran dan pendidikan Islam menurun setelah abad ke-13 M dan terus
melemah samapai abad ke-18 M. Di antara sebab-sebab melemahnya pikiran Islam
antara lain:
a.
Telah berlebihan filsafat Islam
yang bercorak sufistik yang dimasukkan oleh Al-Ghazali dalam alam Islami di
Timur dan berlebihan pula Ibnu Rusyd dalam memasukkan filsafat Islamnya (yang
bercorak rasionalistis) ke dunia Islam di Barat. Al-Ghazali mendapat sukses di
Timur, hingga pendapat-pendapatnya merupakan satu aliran yang terpenting Ibnu
Rusyd mendapat sukses di Barat hingga pikiran-pikirannya menjadi pimpinan yang
penting bagi alam pikiran Barat.
b.
Umat Islam, terutama para
pemerintahnya (khalifah, sultan, amir-amir) melalaikan ilmu pengetahuan dan
kebudayaan dan tidak memberi kesempatan untuk berkembang. Kalau pada mulanya
para pejabat pemeriintahan sangat memperhatikan perkembangan ilmu pengetahuan,
dengan memberikan penghargaan yang tinggi kepada para ahli ilmu pengetahuan,
maka pada masa menurun dan melemahnya kehidupan umat Islam ini, para ahli ilmu
pengetahuan umumnya terlibat dalam urusan-urusan pemerintahan, sehingga
melupakan pengembangan ilmu pengetahuan.
c.
Terjadinya
pemberontakan-pemberontakan yang dibarengi dengan serangan dari luar, sehingga
menimbulkan kehancuran-kehancuran yang mengakibatkan berhentinya kegiatan pengembangan
ilmu pengetahuan dan kebudayaan di dunia Islam. Sementara itu obor pikiran
Islam berpindah tangan ke tangan kaum Masehi, yang mereka ini telah mengikuti
jejak kaum muslimin yang menggunakan hasil buah pikiran yang mereka capai dari
pikiran Islam itu.[5]
Menurut
Hanu Asrohah, kemunduran pendidikan Islami pada masa-masa ini terletak pada
merosotnya mutu pendidikan dan pengajaran di lembaga-lembaga pendidikan Islami,
materi pelajarannya sangat sederhana, materi yang diajarkan hanyalah materi
ilmu-ilmu keagamaan. Lembaga-lembaga pendidikan tidak lagi menyiarkan ilmu-ilmu
filosofis, termasuk ilmu pengetahuan umum. Rasionalisme pun kehilangan
peranannya, dalam arti semakin dijauhi kedudukan akal dan semakin surut. Dengan
dicurigainya pemikiran rasional, daya pemikiran kritis, penelitian, dan ijtihad
tidak lagi dikembangkan. Akibatnya, tidak ada lagi ulama-ulama yang
menghasilkan karya-karya intelektualisme yang mengagumkan. Mereka lebih senang
mengikuti pemikiran-pemikiran ulama terdahulu daripada berusaha melakukan
penemuan-penemuan baru.[6]
Kondisi
demikian diperburuk lagi oleh jatuhnya kerajaan Abbasiyah oleh serangan
orang-orang Tartar dan Mongol pada masa pertengahan abad ke-13 M, ketika kota
Baghdad sebagai pusat ilmu dan kebudayaan hancur sama sekali. Sekitar 800.000
penduduk Baghdad dibunuh; perpustakaan dihancurkan; ribuan rumah penduduk
diratakan. Dalam peristiwa tersebut, umat Islam kehilangan lembaga-lembaga
pendidikan dan buku-buku ilmu pengetahuan yang sangat berharga nilainya bagi
pendidikan Islami. Kini Baghdad sebagai ibu kota Irak terus dihujani bom-bom
sekutu pimpinan AS.[7]
B.
Unsur Pendidikan
yang Mengalami Kemunduran
Pada
masa pemerintahan Utsmaniyah dunia pendidikan Islam mengalami kemunduran secara
total. Masa pemerintahan Utsmaniyah merupakan masa yang paling suram dalam
sejarah pendidikan Islam. Pada masa itu hampir tidak ada lagi ulama yang lahir
dan tidak pula muncul buah pemikiran yang orisinil dari seorang pemikir muslim.
Adapun bidang-bidang tentang prodi pendidikan Islam pada masa periode
kemunduran adalah:
1.
Metodologi
Pada
masa kejayaan pendidikan Islam, ilmu pengetahuan itu dikembangkan melalui
berbagai metode yang akurat, seperti diskusi, pembahasan berbagai kitab-kitab
asing dan percobaan-percobaan serta penterjemahan berbagai ilmu pengetahuan
dari berbagai bahasa kedalam bahasa Arab, berbeda dengan periode masa
kemunduran ini dengan sistem pengajaran mengarah kepada metode “menghafal”.
Ketertarikan pada metode hafalan tersebut, seringkali menimbulkan beban mental
bagi para siswa yang pada gilirannya akan mengiring mereka kearah suatu sikap
mematikan kreatifitas anak didik dengan kondisi demikian, kemudian ditunjang
dengan doktrin bahwa pendapat guru senantiasa benar, tetapi apabila membantah
guru berakibat ilmunya tidak bermanfaat lagi dan lain-lain.
2.
Kurikulum Pendidikan
Kemunduran
dan kemerosotan pendidikan Islam dibidang kurikulum pengajaran adalah
penyempitan materi yang diajarkan pada madrasah-madrasah, bergesernya perhatian
kepada pengabaian terhadap ilmu-ilmu naqliyah lisaniyah, sedangkan ilmu-ilmu
aqliyah seperti ilmu pasti, filsafat dan lainnya dianggap haram mempelajarinya.
Kurikulum madrasah pada umumnya terdiri dari ilmu-ilmu keagamaan yang murni
tinggal terdiri dari tafsir, hadist, fiqh (termasuk ushul fiqh dan
prinsip-prinsip hukum). Jumlah macam buku-buku yang diajarkan dalam lembaga
pendidikan semakin berkurang dan waktu yang diperlukan untuk menyelesaikan
studi pun semakin singkat, sehingga penguasaan materi pendidikan pun tidak
sebagaimana yang diharapkan.
Dalam
bidang fikih, yang terjadi adalah berkembangnya taklid buta di kalangan umat.
Dengan sikap hidup yang fatalistis tersebut, kehidupan mereka sangat statis,
tidak ada problem-problem baru dalam bidang fikih. Aa yang sudah ada dalam
kitab-kitab fikih lama dianggapnya sebagai sesuatu yang sudah baku, mantap dan
benar, dan harus diikuti dan dilaksanakan sebagaimana adatnya.[8]
3.
Karya Ilmiah
Akibat
dari tertutupnya pintu ijtihad dalam mencari Ilmu, maka pemikir Islam tidak
berniat menciptakan karya-karya orisinil. Kegiatan ulama terbatas dengan
membuat ringkasan dari kitab-kitab lama yang kemudian dikenal dengan kitab Matan.
Kitab-kitab matan ini kemudian dikumpulkan dalam satu kitab besar yang
diberi nama kitab Majmu’ Mutun. Bahkan ada pula yang menyusun untuk
dijadikan syair. Sehingga semakin sulit pemahamannya, walaupun mungkin mudah
untuk dihafal yang sejalan dengan metode pendidikan pada waktu itu yang
mengutamakan menghafal. Contoh: Imam Nawawi (631-676 H) meringkas kitab Al
Muharrar karya imam Ar Rafi’i, sehingga menjadi separuh dari kitab aslinya,
kitab tersebut diberi judul Minhajul Thalibin. Kitab ini diringkas
kembali oleh Syekh Zakaris al Anshory (wafat 924 H) dengan nama Minhajul
Thullab.
Karena terlalu ringkasnya karangan kitab matan, yang
kadang-kadang sulit pemahamannya maka datang para ulama sesudahnya, memberikan
penjelasan kepada kitab-kitab matan ringkasan sehingga menjadi panjang
penjelasannya yang dikenal dengan kitab Syarah. Contoh: Kitab
karangan Jalaluddin al Mahalli berjudul AL Mahalli sebagai sayarah
terhadap kitab Minhaju; Thalibin yang pernah diringkaskan oleh Syekh Zakariya
al-Anshory.
Suatu
hal yang patut dicatat, bahwa dalam situasi seperti itu, seorang ulama bernama
Ibnu Khaldun dengan Al Mukaddimahnya, sebagai analisa terhadap maju mundurnya
suatu bangsa. Berkat ketinggian ilmunya, Ibnu Khaldun tidak terlena dengan
zamannya dan tidak pula hanyut dalam suasana yang non Islami.
4.
Kelembagaan
Kelembagaan
bertolak dari motivasi pembangunannya, madrasah-madrasah yang didirikan pada
masa-masa menjelang kemunduran pendidikan Islam, adalah banyak berkaitan dengan
kepentingan pribadi pendirinya, baik bersifat politis, ekonomis maupun yang
bersifat agamis (mempertahankan faham keagamaan) sebagai konsekuensi logis dari
kelemahan dibidang mental spiritual itu, maka pada sisi lain berkembanglah
dengan suburnya lembaga-lembaga seperti: Al- Khawanik, Azzawaya, dan Arrabat,
yaitu suatu lembaga yang dipergunakan untuk sarana-sarana kaum sufi.
Kehidupan
sufi berkembang dengan pesat. Madrasah-madrasah yang ada dan yang berkembang
diwarnai dengan kegiatan-kegiatan sufi. Madrasah-madrasah di bawah bimbingan
dan otoritas dari guru-guru sufi.[9]
Berbagai macam aliran sufi berkembang, yang terlalu toleran terhadap ajaran
mistik yang berasal dari agama lian (Hindu, Budha, maupun neo platonisme), yang
telah memunculkan berbagai macam tarekat yang menyimpang jauh dari ajaran
Islam.[10]
Tentang
lembaga ini, Al-Maqrizi menurutkan tentang salah satu Al-Khawanik yang disana
telah diatur beberapa pelajaran, diantaranya adalah empat mata pelajaran fuqaha
empat madzhab, beberapa pelajaran hadist Nabi, beberapa pelajaran membaca
Al-Qur’an dalam tujuh riwayat. Dalam proses belajarnya diatur sesuai dengan
protokoler tasawwuf, tiap hari murid diatur makanannya, seperti: roti dan
daging, dalam sebulan sekali diberikan balwa, sabun, minyak. Berbeda dengan
al-Khawalik, yaitu suatu tempat yang dibangun untuk orang-orang sufi yang
miskin, supaya dapat beribadah dan belajar, yang umumnya didirikan untuk
seorang syekh yang terkenal ilmu dan takwanya. Sedang Arrabath adalah rumah
seseorang ulama sufi yang juga ditempati para fakir miskin, yang tidak
berkeluarga untuk beribadah dan belajar semata, ada Arrobath untuk pria, dan
ada Arrobath untuk wanita.
Gambaran
dunia pendidikan Islam pada masa kemunduran, dengan diwarnai bergesernya
perhatian terhadap ilmu kealaman, bidang karya ilmiah, juga pertentangan yang
berkepanjangan tentang masalah filsafat. Formulasi Al-Ghazali bahwa mencari
selain ilmu agama hukumnya wajib kifayah, bukan untuk meninggalkan orang yang
sudah mempertahankan akalnya, tetapi formulasi tersebut salah dalam
menafsirkan, sehingga mengharamkan segala hal yang berbau filsafat, termasuk
ilmu-ilmu akliyah lainnya. Namun sejarah masih berputar, ajaran sedikit demi
sedikit tidak akan terjerumus untuk kedua kalinya, tetapi akan bangkit
menyongsong masa depannya yang lebih indah bahkan yang teramat indah, sesuai
dengan fungsinya sebagai rahmat diseluruh alam.[11]
Kurikulum
madrasah-madrasah pada umumnya terbatas pada ilmu-ilmu keagamaan, hanya sedikit
gramatika, dan bahasa sebagai alat yang diberikan. Jadi kenunduran dan
kemerosotan mutu pendidikan dan pengajaran pada masa ini terlihat sangat
sedikitnya materi kurikulum dan mata pelajaran pada umumnya madrasah-madrasah
yang ada. Materi pelajarannya sangat sederhana, ternyata dari jumlah total
buku-buku yang dipelajari pada suatu tingkatan (bahkan tingkat tinggi
sekalipun) sangat sedikit. Perkembangan ilmu pengetahuan pada masa ini dapat
dikatakan mengalami stagnansi (mandeg atau macet). Tidak ada buku baru
yang dihasilkan, paling-paling berupa komentar dari buku yang telah ada, bahkan
komentar dari komentar.[12]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
1.
Kemunduran pendidikan Islam
disebabkan oleh:
·
Telah berlebihan filsafat Islam
yang bercorak sufistik yang dimasukkan oleh Al-Ghazali dalam alam Islami di
Timur dan berlebihan pula Ibnu Rusyd dalam memasukkan filsafat Islamnya (yang
bercorak rasionalistis) ke dunia Islam di Barat.
·
Umat Islam, terutama para
pemerintahnya (khalifah, sultan, amir-amir) melalaikan ilmu pengetahuan dan
kebudayaan dan tidak memberi kesempatan untuk berkembang.
·
Terjadinya
pemberontakan-pemberontakan yang dibarengi dengan serangan dari luar, sehingga
menimbulkan kehancuran-kehancuran yang mengakibatkan berhentinya kegiatan
pengembangan ilmu pengetahuan dan kebudayaan di dunia Islam.
2.
Unsur Pendidikan yang Mengalami
Kemunduran
·
Metodologi. Pada masa
kejayaan pendidikan Islam, ilmu pengetahuan itu dikembangkan melalui berbagai
metode yang akurat, seperti diskusi, pembahasan berbagai kitab-kitab asing dan
percobaan-percobaan serta penterjemahan berbagai ilmu pengetahuan dari berbagai
bahasa kedalam bahasa Arab, berbeda dengan periode masa kemunduran ini dengan
sistem pengajaran mengarah kepada metode “menghafal”.
·
Kurikulum Pendidikan. Kemunduran dan
kemerosotan pendidikan Islam dibidang kurikulum pengajaran adalah penyempitan
materi yang diajarkan pada madrasah-madrasah, sedangkan ilmu-ilmu aqliyah
seperti ilmu pasti, filsafat dan lainnya dianggap haram mempelajarinya.
·
Karya Ilmiah. Akibat dari
tertutupnya pintu ijtihad dalam mencari Ilmu, maka pemikir Islam tidak berniat
menciptakan karya-karya orisinil. Kegiatan ulama terbatas dengan membuat
ringkasan dari kitab-kitab lama yang kemudian dikenal dengan kitab Matan
·
Kelembagaan. Kelembagaan
bertolak dari motivasi pembangunannya, madrasah-madrasah yang didirikan pada
masa-masa menjelang kemunduran pendidikan Islam, adalah banyak berkaitan dengan
kepentingan pribadi pendirinya, baik bersifat politis, ekonomis maupun yang
bersifat agamis (mempertahankan faham keagamaan).
B.
Saran
Bagi
mahasiswa/i khususnya yang berkecimpung dalam pendidikan Islam, sebaiknya
menggali lebih dalam lagi khasanah keilmuan Islam dalam bidang sejarah
pendidikan Islam serta menyebarkaluakan kisah-kisahnya agar dapat dijadikan
pedoman bagi setiap umat Islam, terutama untuk anak didiknya.
DAFTAR PUSTAKA
Engku,
Iskandar dan Siti Zubaidah. 2014. Sejarah Pendidikan Islami. Bandung: PT
Remaja Rosdakarya.
Mansur
dan Mahfud Junaedi. 2005. Rekonstruksi Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia.
Jakarta: Direktorat Jenderal Kelembagaan Agama Islam.
Munawir.
2013. Sejarah Pendidikan Islam. Surabaya: CV. Indo Pramaha.
Nizar,
Samsul. 2007. Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta: Kencana, 2007
Suwito.
2005. Sejarah Sosial Pendidikan Islam. Jakarta: Kencana.
Zuhairini,
dkk., 1995. Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara.
[1] Zuhairini dkk., Sejarah
Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1995), hal. 109
[2] Suwito, Sejarah Sosial
Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana, 2005), hal. 163
[3] Ibid., hal. 164
[4] Zuhairini dkk., Sejarah
Pendidikan..., hal. 109
[5] Ibid., hal. 110-111
[6] Iskandar Engku dan Siti
Zubaidah, Sejarah Pendidikan Islami, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya,
2014), hal. 74
[7] Ibid., hal. 75
[8] Samsul Nizar, Sejarah
Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana, 2007), hal.179
[9]
Ibid., hal. 179
[10]
Iskandar Engku dan Siti
Zubaidah, Sejarah....hal. 78
[11] Munawir, Sejarah Pendidikan
Islam, (Surabaya: CV. Indo Pramaha, 2013) hlm, 75-79
[12] Mansur dan Mahfud Junaedi, Rekonstruksi
Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: Direktorat Jenderal
Kelembagaan Agama Islam, 2005), hal. 28-29
0 Response to "Makalah Sejarah Pendidikan Islam: Sebab-Sebab Kemunduran Islam"
Posting Komentar